Kamis, 21 Mei 2009

Tidak terasa sudah sebulan. Hampir sebulan. Dan selama sebulan itu pula aku mencoba pergi sendiri, menunggu di persimpangan. Aku sudah terlalu jauh berjalan, hingga di persinggahan ini sebelum kemudian kau pergi. Aku pun turut saja duduk dan melihatmu berbalik pulang, tanpa bertanya-tanya.

Inikah hidupku yang baru? Sebulan aku bertahan, apakah akan menjadi setahun lalu sewindu? Hidup tanpa semua yang telah aku lupakan, atau yang telah engkau tinggalkan. Bintang-bintang sudah sayu menunggu kita hitung kembali. Embun pun enggan aku sapa lagi. Tidak pernah ada yang sama tanpa dirimu. Dan itu membuatku kelu, melihat bintang dan embun silih berganti membuatku bisu. Semua itu tentangmu. Kamu.

Terkadang angin menipuku di persimpangan ini. Mendesir pelan, seakan suara ujung jubahmu. Terkadang mengetuk-ngetuk seperti irama sepatumu. Dan setiap kali angin menipuku, selalu saja aku percaya dan menoleh. Tersadar yang kulihat adalah kehampaan, setan. Tak pernah ada kamu, yang ada hanya setan. Mempermainkan ragu dan senyum kembali sendu.

Sudah sebulan sejak terakhir kali nadaku bergetar, ketika keluhmu terantar oleh suara tak tersadar. Itulah terakhir, jika memang sudah berakhir. Dan sebulan pula tak lagi ada hati yang menari, atau terbagi. Semua bisu, malam pun mengantuk diam-diam, tak mau buat ramai. Embun menetes perlahan, mengganti angka-angka dan membuatnya segera saja menjadi satu bulan. Sejak 9 April yang lalu, kau tak lagi hadir.

Hanya orang bodoh yang masih mau percaya suara angin. Dan orang bodoh itu adalah aku. Masih saja aku menoleh jika angin mulai menggodaku lagi. Bahkan jika tidak ada angin, aku seakan membuat suara-suara yang mengatasnamakan dirimu hingga aku percaya dan menoleh lagi. Tersadar yang kulihat adalah kehampaan, setan. Tak pernah ada kamu, yang ada hanya setan. Mempermainkan ragu dan senyum kembali sendu.

Seakan aku dan kamu tidak pernah saling mengenal. Kau tak pernah mau menjenguk mimpiku lagi, tak mau menyelesaikan pelangi, tak mau menggelitik matahari. Kau hilang. Dan aku pun hilang. Dan kita pun hilang dari mimpi, pelangi, dan matahari. Ruang rindu itu tak terisi, tak ada tawa kita menunggu hujan reda. Seperti dulu, saat itu, sebulan lalu.

Inikah hidupku yang baru? Sebulan aku bertahan, apakah akan menjadi setahun lalu sewindu? Hidup tanpa semua yang telah aku lupakan, atau yang telah engkau tinggalkan. Bintang-bintang sudah sayu menunggu kita hitung kembali. Embun pun enggan aku sapa lagi. Tidak pernah ada yang sama tanpa dirimu. Dan itu membuatku kelu, melihat bintang dan embun silih berganti membuatku bisu. Semua itu tentangmu. Kamu.
Dan di ruang rindu itu kita bertemu, sebulan lalu.

03/05/2007 21:01

posting ini juga saya posting di blog lama saya, yang lupa passwordnya itu, hehe ..
entah bagaimana menyebut tulisan ini, sastra atau curhat saja ya ? karena saya menulisnya ketika saya merasakan cinta pertama saya semasa SMA dulu, huehehe .. dan luapan emosi saya, seringkali tertuang dalam kata-kata seperti ini.

memang terkadang pedih dan tawa cinta, seringkali memberi kita inspirasi

Label:

posted by nadia at Kamis, Mei 21, 2009 |

0 Comments:

Posting Komentar